Jadi awal mulanya aku lihat Sapiens ini di Gramedia dan jujur, aku nggak tahu apa itu Sapiens. Bukunya tebal dan aku langsung mikir, “Kayaknya aku nggak akan selesai baca beginian.” Tapi entah kenapa aku mulai lihat cover-nya, terus baca ringkasan di bagian belakang yang cukup engaging buat aku. Dan aku mikir, “Eh ini sesuai sama apa yang aku suka baca.”
Dari dulu aku memang suka baca—dari zaman SMA udah suka buka-buka ensiklopedia. Terus juga suka sejarah. Bahkan waktu main game pun aku lebih suka game sejarah, yang bangun-bangun kerajaan dari zaman batu, kayak Age of Empires (Classic banget dari Stone Age sampai Imperial , walau banyak perang, tapi ada nuansa soal perkembangan teknologi, struktur sosial, dan ekonomi)lalu Far Cry Primal (Dunia open-world di Zaman Batu. disini jadi pemburu dengan senjata primitif, harus bikin api, berburu, dan survive dari suku lain), atau game sejenis. Padahal cuma gambar kecil doang ya, tapi di situlah kayak ada awal mula rasa tertarik sama tema besar kayak evolusi, peradaban, dan gimana manusia bisa sampai sejauh ini.
Pas pertama kali baca Sapiens, aku seperti ngerasa, “Oh, ternyata dulu tuh memang banyak spesies manusia.” Nggak cuma Homo sapiens. Dan itu kayak ngingetin aku ke buku pelajaran waktu SD/SMP yang sering bahas manusia purba, tapi dulu susah banget dicerna. Sekarang rasanya lebih masuk akal. Tapi memang, baca buku ini bikin aku mikir soal hal yang lebih dalam juga, kayak misalnya kaitannya dengan kepercayaan dan agama.
Ada bagian yang lumayan nyantol di aku, waktu Harari bilang kalau agama itu hanyalah fiksi yang kita percaya bersama. Atau waktu dia bilang revolusi pertanian itu “penipuan terbesar” sepanjang sejarah manusia. Di situ aku agak kaget sih. Tapi juga mikir, “Iya juga ya.” Soalnya cara dia menyajikan data dan sejarah itu lumayan membuka mata, walaupun beberapa bagian cukup kontroversial.
Tapi aku pribadi oke aja. Nggak semua yang dia bilang harus aku setujui. Yang penting, aku bisa lihat ada bagian dari pikiranku yang jadi terbuka setelah baca ini. Kayak jadi lebih ngerti kalau kita itu punya gen bertahan hidup dari zaman berburu, dan cara bertahan itu berubah tergantung zamannya. Kalau dulu orang bertahan dari binatang liar, sekarang kita berhadapan sama tekanan sosial, ekspektasi, atau bahkan burnout.
Nah, salah satu bagian yang menurutku relate banget adalah saat Harari bahas gimana manusia bisa saling kerja sama dalam skala besar karena punya “fiksi bersama”. Di bukunya dia bilang:
“We can rally large groups of people around abstract concepts… like gods, nations, money and human rights… they exist only in our shared imagination.”
Itu kan hal-hal yang nggak nyata secara fisik, tapi kita semua percaya. Dan karena kita percaya, sistem itu bisa jalan. Ini tuh ngingetin aku kenapa sekarang manusia bisa punya sistem keuangan global atau percaya sama hal abstrak kayak “negara”—padahal semua itu kan ada karena kita sepakat percaya.
Dan jujur, aku juga suka gaya nulis Harari. Meskipun isinya berat, cara dia menyampaikan itu storytelling banget. Jadi kayak dengerin seseorang yang pinter tapi juga tahu cara ngobrol biar nggak bikin kamu ngantuk. Dia bisa banget bikin sejarah jadi hidup, dan bukan sekadar tanggal-tanggal atau nama tokoh doang.
Penutup — Aftertaste Setelah Membaca Sapiens
Setelah selesai baca buku ini, rasanya kayak baru selesai ngobrol panjang sama orang yang kritis, tajam, tapi juga punya cara cerita yang enak. Aku ngerasa kayak ditarik pelan-pelan buat ngeliat sejarah manusia dari sudut yang beda, yang nggak cuma soal siapa penemu roda atau siapa yang menang perang, tapi lebih ke: kenapa kita percaya apa yang kita percaya sekarang?
Aku juga jadi mikir, ternyata banyak hal yang selama ini kita anggap “normal”—kayak agama, negara, bahkan uang—itu semua dibangun dari cerita yang kita sepakati bareng-bareng. Dan itu nggak salah. Tapi ketika tahu itu, jadi ada dorongan buat lebih sadar, lebih hati-hati, dan nggak gampang telan bulat-bulat.
Yang bikin buku ini nempel di kepala, mungkin karena dia nggak kasih jawaban pasti. Dia malah ngajak kita buat mikir sendiri. Dan buat aku pribadi, itu menyenangkan. Kayak, “Oh jadi ini ya kenapa dulu aku suka game tentang sejarah, suka ngulik ensiklopedia, suka tanya hal-hal yang orang anggap ‘nggak penting.’” Ternyata minat itu punya benang merah, dan Sapiens salah satu titik yang bikin benang itu makin jelas.
Buku ini cocok buat kamu yang pengen baca sesuatu yang nggak cuma “menarik,” tapi juga mengganggu dengan cara yang baik. Dia nggak maksa kamu setuju, tapi juga nggak takut bilang sesuatu yang nyentil. Dan kalau kamu tipikal orang yang suka mikir, suka belajar, dan nggak takut beda pandangan, aku rasa kamu bakal suka aftertaste yang ditinggalin buku ini.


