Pria Indonesia di Tengah Ekspektasi: Bahagia Tanpa Harus Memenuhi Template

Beban ekspektasi yang kadang ga realistis

Jadi gini, guys. Pernah ga sih merasa terjebak dalam kotak-kotak ekspektasi sebagai cowok di Indonesia? “Cowok jangan cengeng,” “Cowok harus mapan sebelum nikah,” “Cowok ga boleh pakai skincare,” dan sederet aturan tidak tertulis lainnya yang seolah mengunci identitas kita. Well, as a millennial myself, I’ve been there, done that! Dan jujur, capek banget hidup dengan beban ekspektasi yang kadang unrealistic ini.

Stigma tentang pria di masyarakat kita masih kental dengan stereotip maskulinitas tradisional. Kita masih hidup di era yang menganggap showing emotion is a sign of weakness bagi cowok. Padahal, Bell Hooks dalam bukunya “The Will to Change: Men, Masculinity, and Love” justru menekankan bahwa kemampuan untuk ekspresif dan vulnerable sebenarnya adalah bentuk kekuatan tersendiri. Hooks menulis bahwa patriarki tidak hanya merugikan perempuan, tapi juga melukai laki-laki dengan memaksa mereka menekan emosi mereka.

Tbh, capek juga sih kalau harus terus-terusan pura-pura strong. Kadang pengen nangis nonton film sedih atau stress karena deadline, tapi langsung keinget dogma “cowok ga boleh nangis.” Like, seriously? Emang nangis bikin testosteron menurun atau gimana? HAHA.

Belum lagi tentang ekspektasi financial success. Dari kecil, cowok-cowok Indonesia udah diprogram untuk jadi breadwinner, jadi tulang punggung keluarga, jadi yang wajib sukses secara finansial. Buku “Man Enough” karya Justin Baldoni ngebahas banget tentang ini. Baldoni menyoroti bagaimana standar maskulinitas yang toxic ini memberikan tekanan besar pada pria untuk selalu berhasil secara ekonomi, dan memandang kegagalan sebagai aib besar. Padahal kita semua tau kan, hidup itu pasang surut. Tidak selamanya kita berada di puncak.

Ngomongin soal sukses, pria Indonesia juga masih banyak yang terjebak dalam mindset bahwa sukses = punya mobil mewah, rumah gede, dan istri cantik (which is super objectifying, btw). Seperti yang dibahas dalam buku “The Mask of Masculinity” oleh Lewis Howes, kita seringkali memakai “topeng material” untuk menutupi insecurity kita. We’re more than our possessions, guys!

Terus soal tampilan nih, aku sering banget denger temen-temen cowok yang diejek karena mulai peduli sama skincare atau fashion. “Ih, kok cowok pake masker wajah sih?” atau “Duh, ribet amat milih baju, kayak cewek aja.” Padahal, self-care bukan exclusive right-nya perempuan, kan? Buku “Groomed” karya Nathaniel Ford mengeksplorasi bagaimana perawatan diri sebenarnya adalah bagian esensial dari well-being, terlepas dari gender.

Yang lebih menyedihkan lagi, kita juga sering dipaksa untuk memendam rasa sakit mental kita. Depresi? Anxiety? “Ah elah, cowok kok lemah.” Stigma ini super berbahaya, sih. Data menunjukkan bahwa angka bunuh diri pada pria lebih tinggi, dan salah satu faktornya adalah keengganan untuk mencari bantuan karena takut dianggap lemah. Buku “I Don’t Want to Talk About It” karya Terrence Real membahas secara mendalam tentang “silent epidemic” depresi pada pria yang sering tidak terdiagnosis dan terabaikan.

Nah, untuk para cowok millennial dan Gen Z Indonesia, it’s time to break the chain. Kita bisa jadi generasi yang mendefinisikan ulang maskulinitas dengan cara yang lebih sehat. Kita bisa jadi pria yang tidak takut untuk vulnerable, yang tidak malu untuk seek help when needed, dan yang menolak untuk menyakiti diri sendiri hanya untuk memenuhi ekspektasi sosial yang outdated.

Hari gini, being a man shouldn’t be about fitting into a mold. It should be about being authentic to yourself. Seperti yang dikatakan oleh penulis Mark Manson dalam bukunya “The Subtle Art of Not Giving a F*ck,” true freedom comes when you stop caring about what others think and start focusing on what truly matters to you.

So, let’s redefine what it means to be a man in today’s Indonesia. Let’s embrace vulnerability, emotional intelligence, and self-acceptance. Let’s create a society where cowok bisa nangis tanpa judgment, bisa gagal tanpa merasa less of a man, dan bisa express themselves freely without being boxed in stereotypes.

Because at the end of the day, kita semua manusia. Dan menjadi manusia yang utuh, dengan segala kompleksitas emosi dan pengalaman, adalah definisi sejati dari maskulinitas modern.

Disclaimer: Tulisan ini bukan untuk membandingkan siapa yang paling menderita akibat stigma di masyarakat. Aku sepenuhnya menyadari bahwa perempuan juga menghadapi stereotip dan ekspektasi yang sama beratnya, meski dalam bentuk yang berbeda. Setiap gender memiliki tantangan uniknya masing-masing, dan pengakuan atas satu tidak mengurangi pentingnya yang lain. Tulisan ini hanya berusaha menyoroti satu sisi yang mungkin belum banyak dibicarakan.

Seperti yang ditulis oleh Brené Brown dalam bukunya “Daring Greatly”: “Keberanian dimulai dengan menunjukkan diri kita apa adanya, menceritakan kisah kita dengan hati yang utuh. Kerentanan bukanlah tentang menang atau kalah. Ini tentang keberanian untuk menampilkan diri meski tidak ada jaminan.” Mungkin itulah definisi keberanian baru yang kita butuhkan hari ini—baik untuk pria maupun wanita.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top