Aku lagi duduk di warung mie ayam yang itu-itu lagi. Sudah entah yang keberapa kalinya. Sambil menunggu mie disajikan, aku scroll Instagram, lihat orang-orang posting petualangan mereka. Ada yang maraton, pindah kota, resign demi ngejar passion.
Dan aku? Masih di sini. Lesehan di meja nomor tiga yang sama, pesen mie ayam yang rasanya udah hafal luar kepala, sambil bergumam,
“wah enak ya hidup mereka.”
Lalu aku senyum tipis. Ini nih, contoh klasik dari “pengen petualangan, tapi nggak mau jauh dari yang familiar.”
Kayak pengen jadi karakter utama di film petualangan, tapi juga nggak mau jauh-jauh dari colokan listrik, WiFi stabil, dan semangkuk mie ayam langganan yang rasanya udah pasti aman.
Zona nyaman yang… gak nyaman?
Kenapa sih kita bisa ngerasa pengen banget keluar dari zona nyaman, tapi juga lengket banget sama hal-hal yang udah biasa?
Aku bisa habiskan berjam-jam buat riset destinasi liburan impian—baca blog, nonton YouTube, sampe nyatet itinerary.
Tapi pas waktunya berangkat?
“Ah, mending dirumah aja deh.”
Atau lebih relate lagi pas ngeluh rutinitas itu-itu aja, tapi begitu diajak pergi dadakan, jawabnya,
“duh aku udah ada rencana.”
Padahal rencananya cuma rebahan sambil Netflix-an dan minum kopi. Revolusioner banget.
Kayaknya di dalam kepala kita ada dua versi diri:
satu yang haus petualangan dan ambisius,
satu lagi yang cemas dan pengen segalanya bisa ditebak.
Dan dua-duanya terus berdebat tiap hari.
Yang jauh terlihat indah
Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup orang lain selalu lebih menarik?
Teman yang kerja di startup keren—Instagram-nya penuh foto coworking space estetik, tim yang seru, suasana kerja yang “fun.”
Tapi pas ketemu langsung? Ceritanya penuh stres, lembur, dan keinginan buat balik ke kerjaan stabil.
Atau kamu yang kerja kantoran, ngebayangin enaknya jadi freelancer. Tapi pas tanya sama freelancer beneran, ternyata mereka lagi pusing cari klien karena persaingan tinggi dan pendapatan nggak pasti dan jam kerja yang seringkali tinggi. Ternyata dua-duanya nggak seindah yang dibayangkan dari luar.
Kata orang, rumput tetangga selalu lebih hijau. Tapi mungkin kita cuma nggak lihat gimana mereka nyiram dan pupuk rumput itu tiap hari.
Dan aku jadi ingat, di Jawa ada satu ungkapan yang selalu terasa relevan: sawang sinawang.
Artinya, kita cenderung melihat hidup orang lain tampak lebih enak, lebih mulus, lebih ideal.
Padahal bisa jadi, mereka juga sedang melihat hidup kita dengan anggapan yang sama.
Kita cuma lihat dari luar—tanpa tahu apa yang sebenarnya mereka rasakan, perjuangkan, atau sembunyikan.
Makanya, aku selalu jadikan sawang sinawang ini sebagai pengingat.
Supaya nggak gampang iri, nggak cepat sombong, dan tetap bersyukur sama hidup sendiri.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dengan segala proses yang sedang dijalani.
Karena pada akhirnya, semua orang punya versi perjuangannya masing-masing.
Dan yang paling penting adalah tetap jujur sama diri sendiri, dan belajar merasa cukup.
Mengenali Diri Sendiri
Bertahun-tahun aku coba jawab satu pertanyaan sederhana tapi ternyata nggak gampang:
Aku ini orangnya kayak gimana, sih?
Introvert atau ekstrovert?
Spontan atau tukang rencana?
Ambisius atau santai?
Dan jawabannya… ternyata iya semua.
Aku bisa semangat banget ngobrol di lingkaran kecil, tapi langsung lelah kalau harus ada di keramaian.
Bisa nyusun rencana hidup lima tahun ke depan, tapi juga bisa tiba-tiba pulang lewat jalan yang nggak biasa—cuma karena pengen aja.
Bisa niat banget di satu project, tapi ogah-ogahan di project lain yang rasanya nggak klik.
Dulu aku pikir itu tanda nggak konsisten.
Tapi makin ke sini, aku sadar: mungkin memang begitulah jadi manusia.
Nggak selalu harus pas di satu kotak. Nggak harus punya satu label yang mutlak.
Kita bisa jadi campuran dari banyak hal.
Dan itu bukan kekurangan—itu justru yang bikin kita utuh.
Kontradiksi yang aku sadari
Ada banyak hal dalam diriku yang dulu terasa membingungkan.
Pengen terhubung, tapi juga butuh sendiri.
Aku suka banget ngobrol dari hati ke hati, tenggelam dalam percakapan yang dalam dan hangat. Tapi di saat yang sama, aku juga butuh waktu buat recharge sendirian, dalam sunyi yang nggak perlu dijelaskan.
Dulu aku kira ini masalah. Sekarang aku tahu, ini caraku hidup.
Perfeksionis, tapi suka nunda.
Aku bisa ngedit satu paragraf berjam-jam, nyari kata yang paling pas, paling jujur. Tapi bisa juga nggak nyentuh project itu selama berhari-hari, cuma karena belum nemu mood-nya.
Aneh? Mungkin. Tapi begitulah otakku bekerja. Ritmenya nggak selalu logis, tapi tetap bergerak.
Pengen hidup sederhana, tapi juga punya ambisi.
Aku suka baca tentang slow living, tentang minimalisme, tentang hidup yang pelan tapi penuh makna. Tapi aku juga punya bucket list panjang, mimpi-mimpi yang ingin dicapai, target yang bikin mata berbinar.
Ternyata, bisa kok menikmati dua-duanya. Nggak harus milih salah satu.
Skeptis, tapi tetap berharap.
Aku bisa mikir worst case scenario secara spontan, nyiapin plan B, C, sampai Z. Tapi di balik itu, aku juga percaya—entah gimana caranya—semuanya akan baik-baik aja.
Kontradiksi ini ternyata bikin aku tetap realistis, tapi nggak putus asa.
Dan sekarang, aku nggak lagi berusaha menghapus kontradiksi itu.
Aku maklumi semuanya. Karena mungkin, justru di sanalah aku merapa hidup.
Yang aku sadari
Kita Nggak Harus Konsisten Terus-Terusan
Orang berubah. Mood berubah. Prioritas berubah. Dan itu wajar.
Kontradiksi Bisa Jadi Kekuatan
Dulu aku minder karena nggak “fit” ke satu label. Sekarang aku tahu,
fleksibilitas dan empati datang justru dari kemampuan memahami banyak sisi.
Boleh Kok Ganti Pikiran
Aku pernah takut kelihatan plin-plan. Tapi sekarang aku sadar,
ganti pikiran karena belajar hal baru itu bukan kelemahan. Itu tanda tumbuh. apakah aku tumbuh? entahlah, aku akan melihatnya saat ini berlalu
Tentang jarak dan kedekatan
Mungkin otak kita sengaja dibuat suka meromantisasi hal-hal yang belum kita punya.
Supaya kita tetap punya harapan, atau supaya kita nggak merasa stuck.
Tapi keindahan itu juga bisa ditemukan di hal-hal kecil yang akrab.
Obrolan sama driver ojek, cahaya sore yang jatuh pas banget ke dapur, atau rasa lega setelah beres-beres kamar.
Mungkin kuncinya bukan memilih salah satu,
tapi bisa lihat nilai di keduanya: yang dekat dan yang jauh.
Aku nggak tahu cara terbaik buat ngelola semua ini.
Tapi aku tahu satu hal: ngelawan diri sendiri itu melelahkan.
Mungkin hidup memang dibentuk dari hal-hal yang saling bertentangan. Dan justru di situlah letak keindahannya.
Aku jadi ingat konsep dari Taoisme: yin dan yang. Dua elemen yang tampaknya berlawanan—terang dan gelap, aktif dan diam, keras dan lembut yang sebenarnya saling melengkapi. Nggak bisa ada satu tanpa yang lain. Dalam setiap terang ada bayangan, dalam setiap bayangan ada cahaya. Mungkin hidup kita juga gitu. Kontradiksi bukan sesuatu yang harus diatasi, tapi diterima sebagai bagian dari keseimbangan.
Aku masih di warung mie ayam yang sama, pesen mie ayam yang sama.
Tapi sekarang, aku lebih punya gambaran dengan semua yang bertabrakan di kepala dan hati.
Dan besok? Bisa jadi aku nyobain hal baru. Bisa juga enggak. Aku nggak lagi nyari pembenaran atau pembelaan buat rasa pesimis atau kemalasan.
Bukan itu intinya.
Dan dua-duanya, sah-sah aja.
Karena pada akhirnya, yang penting bukan seberapa cepat aku melangkah, tapi seberapa jujur aku menjalani dan sepenuh hati.
“One day, you’ll leave this world behind. So live a life you will remember.”
The Nights oleh Avicii
