Connecting the Dots

Karena pada akhirnya, kita semua hanya ingin orang lain memperlakukan kita seperti bagaimana kita memperlakukan mereka, kan?

gambar ilustrasi tentang Connecting the Dots

Kemarin aku lagi ngantri di coffee shop, dan tanpa sengaja jadi saksi pertunjukan karakter yang paling jujur yang pernah aku lihat.

Ada seorang pria berjas rapi di depan aku—tipe yang kelihatan sukses, sopan, selalu bilang “excuse me” kalau mau lewat. Tapi begitu giliran dia order, semuanya berubah. Suaranya jadi datar, nggak ada kontak mata sama barista, dan ketika minumannya agak lama, dia dengan kesal mengetuk-ngetuk meja sambil melihat jam.

Ini bukan pertama kali aku perhatikan pola ini. Dan di situlah aku mulai connecting the dots: menurutku, cara seseorang memperlakukan service worker adalah salah satu true character test yang paling akurat.

The Mask We All Wear

Kita semua punya topeng. Social media sudah mengajari kita jadi expert dalam image management—carefully curated posts, strategic networking, professional personas yang kita maintain dengan usaha besar. Aku rasa ini nggak salah; dalam banyak situasi, kita memang perlu present our best selves.

Tapi masalahnya adalah, topeng itu butuh energi untuk dipertahankan. Dan ada momen-momen tertentu dimana kita unconsciously drop our guards. Salah satunya? Interaksi dengan service workers.

Kenapa? Karena secara sosial, ini perceived as “low-stakes interaction.” Nggak ada audience yang perlu diimpress, nggak ada direct benefit yang bisa kita dapat, dan—sayangnya—aku pikir seringkali kita nggak menganggap mereka sebagai “someone who matters” dalam social circle kita.

When The Real You Shows Up

Pernah nggak kamu perhatikan gimana dramatically different seseorang bisa berubah dalam hitungan detik? Dari charm yang warm dan engaging dengan rekan kerja, tiba-tiba jadi cold dan dismissive dengan cleaning service. Dari patience yang luar biasa dengan atasan, langsung jadi irritable dengan driver ojek.

These micro-behaviors tell everything. Konsistensi nada bicara. Eye contact patterns. Bagaimana mereka handle minor inconveniences. Apakah “please” dan “thank you” keluar secara natural atau enggak.

Aku pernah ngobrol dengan teman yang bercerita tentang kencan pertamanya. “Dia perfect banget,” katanya excited. “Tapi…” dia pause, “pas kita makan, dia kasar banget sama waitress. Nggak bilang terima kasih, mengomel karena pesanan agak lama, dan bahkan nggak minta maaf waktu dia nggak sengaja menyenggol server.”

Red flag? Absolutely. Karena kalau seseorang bisa memperlakukan stranger dengan tidak hormat ketika mereka pikir nobody important is watching, what does that say about their core values?

The Psychology Behind Dropping Guards

Ini bukan tentang evil people versus good people. Menurutku, ini tentang human psychology dan bagaimana kita prioritize our emotional resources. Ketika kita stressed, tired, atau feeling entitled, natural tendency kita adalah menghemat energi untuk interaksi yang kita anggap “count.”

Power dynamics juga plays a huge role. Ada temporary sense of power ketika kita dalam posisi customer—someone is literally serving us. Dan sayangnya, some people unconsciously use this as opportunity untuk release frustrations atau assert dominance.

Privilege blindness juga faktor besar. Ketika kita nggak pernah berada di posisi service worker, it’s easier to forget bahwa behind that uniform adalah manusia dengan perasaan, bad days, dan kehidupan yang sama kompleksnya dengan kita.

What True Character Actually Means

Menurutku, true character bukan tentang being perfect. Ini tentang consistency dalam values kita, regardless of context atau audience. Ini tentang recognizing shared humanity dalam setiap interaction, no matter how brief atau “unimportant” it seems.

Orang dengan strong character memperlakukan service workers dengan respect yang sama seperti mereka memperlakukan CEO. Mereka bilang please dan thank you bukan karena strategic courtesy, tapi karena itu default setting mereka. Mereka sabar ketika ada mistakes bukan karena they’re trying to look good, tapi karena mereka understand bahwa errors happen dan everyone deserves grace.

Dan ketika mereka do have complaints atau concerns, mereka address it dengan respectful manner—firm tapi kind, clear tapi tidak demeaning.

The Bigger Picture

Ini sebenarnya nyambung ke hal yang jauh lebih besar—tentang bagaimana kita berfungsi sebagai sebuah society.

Setiap kali kita meremehkan atau memperlakukan pekerja layanan dengan buruk, kita secara aktif memperkuat sistem hierarki yang toxic. Kita ikut menanamkan ide bahwa nilai seseorang ditentukan oleh job title atau status ekonomi mereka.

Padahal, kalau kita benar-benar percaya pada kesetaraan dan dignity for all people, maka hal itu harus kelihatan dari cara kita memperlakukan semua orang—terutama mereka yang paling sering diabaikan.

Tapi aku juga pernah melihat contoh positif yang inspiring. Aku rasa kebiasaan di Amerika dimana mereka hampir selalu memberikan tips ke service workers itu positif—asal bukan jadi keharusan yang memberatkan. Aku pikir ini adalah salah satu bentuk appreciation yang concrete.

Sekarang aku coba praktekkan hal serupa dalam konteks Indonesia. Misalnya saat beli di Rocket Chicken, aku selipkan tips sedikit di bawah piring untuk pegawainya. Nggak besar, tapi sebagai bentuk appreciation untuk service mereka. Atau ketika ojek online sampai dalam cuaca buruk, aku kasih tips kecil sebagai terima kasih.

Generasi kita punya kesempatan untuk break this cycle. Kita bisa choose untuk see beyond uniforms dan recognize individuals. Kita bisa model behavior yang shows respect adalah basic human right, bukan privilege yang harus di-earn.

The Mirror Test

Jadi, pertanyaannya sekarang: bagaimana cara kita memperlakukan para pekerja layanan?

Apakah itu sudah selaras dengan nilai-nilai yang selama ini kita yakini dan ucapkan? Saat kita berbicara tentang kebaikan dan rasa hormat, apakah hal itu benar-benar tercermin dalam interaksi sederhana—dengan barista, pengemudi, atau kasir, misalnya?

Apakah kita menatap mata mereka dan mengakui mereka sebagai manusia, bukan sekadar seseorang yang sedang membantu? Apakah kesabaran kita pada mereka setara dengan kesabaran yang kita berikan kepada atasan atau teman? Dan ketika kita mengucapkan terima kasih—apakah itu tulus dari hati, atau hanya sekadar kebiasaan tanpa makna?

This isn’t about guilt atau shame. Ini tentang awareness dan growth. Kalau kamu realize ada inconsistencies, that’s okay—recognition adalah first step toward change.

Small Changes, Big Impact

Ini pengingat buat aku juga. Karena sering kali, kita sibuk bicara soal nilai—tentang hormat, empati, dan kebaikan—tapi lupa menerapkannya dalam hal-hal kecil yang justru paling jujur mencerminkan siapa kita.

Mulailah dari hal sederhana. Lain kali saat kamu pesan kopi, coba lakukan kontak mata yang tulus dan beri senyum hangat. Saat kurir datang mengantar makanan, ucapkan terima kasih dengan spesifik—karena mereka sudah menavigasi kemacetan atau cuaca yang nggak bersahabat.

Dan kalau ada kesalahan dalam pesanan, coba hadapi dengan sabar dan pengertian. Nggak semua hal harus direspons dengan emosi.

Karena pada akhirnya, tindakan kecil penuh rasa hormat ini bisa menciptakan efek berantai. Bisa jadi hari seseorang jadi sedikit lebih cerah, bisa jadi kita tanpa sadar memberi contoh pada orang lain di sekitar kita, dan yang paling penting—itu menunjukkan bahwa tindakan kita selaras dengan nilai-nilai yang ingin kita pegang teguh.

Connecting the Dots

Connecting the dots itu tentang melihat pola dari pengalaman-pengalaman yang kelihatannya acak, lalu menyadari bahwa semuanya ternyata saling terhubung dan membentuk arah yang lebih besar. Kadang saat kita lagi jalanin hidup, semuanya terasa seperti potongan yang nggak nyambung—pekerjaan yang nggak sesuai passion, pertemuan yang singkat, atau bahkan kegagalan yang bikin frustrasi.

Tapi seiring waktu, ketika kita menengok ke belakang, kita mulai sadar bahwa tiap langkah, tiap pilihan, bahkan tiap kesalahan, ternyata membawa kita ke titik hari ini. Dan dari situ, kita mulai ngerti: bahwa proses connecting the dots bukan soal semuanya harus jelas dari awal, tapi soal percaya bahwa setiap titik punya makna, dan semuanya akan masuk akal pada waktunya.

Ujung-ujungnya sih, semua ini menurutku balik ke satu hal yang paling mendasar: bagaimana kita memperlakukan orang yang nggak bisa kasih apa-apa ke kita, itu menunjukkan siapa kita sebenarnya pas nggak ada yang melihat, nggak ada yang menilai.

Your service worker interactions adalah mirror of your character. Dan unlike social media posts atau professional presentations, this mirror shows your unfiltered, authentic self.

The question is: Do you like what you see?

Karena pada akhirnya, bukankah kita semua hanya ingin orang lain memperlakukan kita sebagaimana kita memperlakukan mereka, kan? 🙂


What patterns have you noticed in how people treat service workers? How has this observation changed the way you see character assessment? I’d love to hear your thoughts and experiences.

4 komentar untuk “Connecting the Dots”

  1. Hi,

    I checked your website. You have an impressive site but ranking is not good on Google, Yahoo and Bing.

    Would you like to optimize your site?

    I will be happy to share with you our strategies with packages details.

    Can I send?

    Warm regards,
    Manshi

  2. Hai, nimbrung sedikit. Gak semua dari kita bisa selalu 100persen baik dan performatif setiap kali didepan orang-orang, ada kalanya kita simply lagi bad day, sampai urusan nunggu kopi aja kita bisa sebelnya minta ampun. Ada kalanya kita gelisah sama stranger yang ngeliatin dan ngejudge kita didepan counter service worker karena simply kita ganyaman dan akhirnya kesal sendiri.

    Jangan lupa, notice pattern, hindari judging one-time accident.
    Btw, tulisanmu bagus sekali. Kenapa tidak coba kirim ke media massa digital dikolom opini?
    Aku paham tulisanmu untuk dirimu sendiri. Tapi alangkah baiknya (diposisiku sebagai pembaca) bila itu bisa menyapa banyak isi kepala orang, sepertiku yang merasa tulisanmu ini sangat relatable.
    Sukses buatmu, ya. Izinkan semesta terus membuatmu semangat menulis.

    1. Haii, Makasih banyak ya udah ninggalin komentar kayak gini. Aku setuju, nggak selalu gampang buat selalu sabar, dan kadang kita juga cuma lagi punya hari yang nggak baik. Seneng banget kamu bilang tulisanku relatable.

      Oh ya aku juga beberapa kali nulis di quora, aku disana karena ada fitur up vote dan down vote, untuk kolom opini so far belum kepikiran sih tapi gatau kedepan hehe, anw makasih sarannya ya, sukses juga buat kamu dimana pun kamu berada.

  3. Edwin Tillman

    Thought you should know about this. It’s like having ChatGPT, MidJourney, and all those other AI tools in one place with no recurring fees. Perfect for when you need quality output fast. Check it out: https://h1.nu/16LLO

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top